Rabu, 01 November 2017

Karena Waktu Tidak Pernah Hanya

Karena waktu tidak pernah hanya
Aku mengetuk pintu hatimu

Sudilah kiranya kau menangis
Ketika waktu tak lagi mampu menunggu
Menunggumu untuk tersadar
Dari khayalan penuh warna dan puja

Karena warna tak pernah jelas maknanya
Karena puja hanyalah Tuhan yang punya

Karena kita ini manusia
Maka kita bahagia

Cobalah mengerti
Karena waktu tidak pernah hanya
Tidak pernah



Minggu, 20 Agustus 2017

Cinta Yang Buta

Tiada yang lebih indah
      dari cinta yang buta...

Karena yang buta bercinta
Tanpa membandingkan cintanya
Dengan cermin dirinya yang maya

Tiada yang lebih jernih
  dari hati yang percaya...

Karena yang percaya bertanya
Sesejuk air yang mengalir
Mengikis ragu yang membatu


Sabtu, 15 Juli 2017

Menunggu Terang

Suatu malam di ujung hari
Terdengar isak tangis serta derai tawa para waria di batas kota yang gelap gulita
Aku tertegun,
Mencoba menyimak kata demi kata yang menggugat tatanan kehidupan
Sebagian ingin sepenuhnya menjadi wanita, 
sementara yang lainnya ingin menjadi laki-laki seutuhnya...
Ada juga yang ingin bunuh diri karena tak kuasa menahan keraguan 
atas jati diri mereka yang sebenarnya.
Dalam keraguan aku bertanya,
"Apa yang kalian inginkan sebenarnya?"
Mereka pun menjawab lirih
"Kami inginkan terang yang telah dijanjikan setelah sekian lama berkutat dalam kegelapan!"
Siapa sangka ternyata terang tak kunjung ada, 
sementara gelap terus menyelimuti tiada habisnya.
Aku pun tersadar,
ternyata para waria tengah terjebak 
oleh permainan hegemoni kekuasaan yang tiada kunjung henti membelenggu,
Memaksa untuk berseteru,
Tiada henti menggiring untuk saling mendominasi.
Terjebak oleh bahasa
yang kerap menyesatkan dalam identitas yang semu
menciptakan rasa kehilangan yang tak kunjung reda.
Saat malam semakin larut,
Terdengar suara memanggil
"Kenapa kau tiba-tiba diam kawan?, Ayo kembali menggugat!
Bagi kita waria, perlawanan tak akan kunjung usai!"
Aku pun kembali terjerembab semakin dalam dalam kegelapan
Berpikir bahwa terang hanyalah mitos
Habis gelap tak akan ada terang
Habis gelap terbitlah kegelapan yang baru.

Bandar Lampung, 22 April 2017

Jumat, 06 Januari 2017

Kiskenda Kini

Ketika Kiskenda ingin disulap menjadi Alengka
Berisikan para raksasa Alengka
Monyet-monyet Kiskenda terlihat riang gembira
Terbahak menyambut senarai luka, bersembunyi dalam benak mereka
Sementara Rahwana...terdiam duduk menunggu ajalnya
Indrajit mengendap-endap, bersembunyi di balik singgasana
Entah apa yang ingin dilakukannya.

Bandarlampung, 14 Mei 2016

Racauan Antar Waktu

Di masa lalu
Ku mengejar bayang seseorang
Jauh di depan mata
Ku dapati orang itu adalah
Aku...
Di saat ini
Ku cermati tubuh seseorang
Bergerak ke sisi kanan dan kiri
Ku sadari orang itu adalah
Aku...
Di masa depan
Ku menoleh jauh ke belakang
Seseorang datang menghampiri
Ternyata orang itu adalah
Aku...

Sebuah racauan, dalam memaknai hari kemerdekaan.
Bandarlampung, 17 Agustus 2016

Lamunan

Tempias air bekas membasuh muka
mengalir perlahan dari tembok
hingga menyentuh keramik lantai dingin, yang memiliki banyak bercak noda
Tiba-tiba suara rintihan seorang ibu terdengar
di balik tembok belakang rumah
yang dipenuhi dengan sirih, merambat hingga merusak pemandangan
menutupi sinar kehidupan di balik tembok belakang rumah
Menggema jeritan sang ayah yang menyebut nama Tuhan-nya
mencari keadilan atas kuasa Tuhan-nya
berharap pada ujung jalan yang gersang
akan dihiasi dengan sawah-ladang yang indah, air irigasi yang mengalir
menuai hasil dan buah manisnya, mandi dan minum sepuasnya
Aku teringat sesosok muda
botak, pucat, mata sayu dengan kelopak kecoklatan
si anak dari ayah dan ibu, kerap melintasi depan rumah di sore hari
selalu menoleh kepada orang-orang yang dilihatnya
tatapannya seakan menyiratkan ada yang tak beres dalam dirinya
seperti sakit, sepi, duka, dan putus asa, ketika ku coba untuk memahaminya
Tempias air bekas membasuh muka
masih mengalir, namun tak kuasa menghilangkan bercak noda di keramik lantai
air yang dingin menyentuh telapak kakiku
menyentak tubuh yang tengah larut dalam lamunan
Aku pun tersadar
sesegera mungkin aku masuk kerumah
memastikan anak dan istri ku baik-baik saja
ternyata mereka tengah terlelap, ku lihat kedamaian pada mereka
sedangkan aku,
kecemasan dan ketakutanku masih saja berusaha melarutkan ku pada khayalan
tentang ibu, ayah dan seorang anak botak

Yogyakarta, 30 September 2013

Endonesa

ENDONESA
Endonesa...oh...Endonesa. Tempat di mana orang-orang-mu merajuk memandang lemah-mu. Merah-mu tak lagi dianggap mitos tentang keberanian, hanya salah satu warna, dari pewarna tekstil. Putih-mu bukan lagi mitos tentang kesucian, ini hanya sekadar warna yang bukan hitam, hijau, jingga, atau yang lainnya. Di atas kepala-mu para cukong berdiri membusungkan dada, mengacungkan jari ke langit, dan berteriak-teriak, menebarkan bau busuk dari mulut-mulut yang jarang gosok gigi. Di pundak-mu jutaan orang-orang manja berbisik, masing-masing menyatakan dengan lantang sebagai yang lemah, hina, dan termiskin di dunia. Di dalam perut-mu para cendekiawan menciptakan berjuta diktat dan beragam teori, hingga membuat-mu mulas, mual, dan akhirnya menciptakan diare yang berkepanjangan. Sementara kedua kaki-mu sibuk menginjak-injak serangga-serangga yang berusaha menggerogoti borok-mu yang semakin menjadi karena penyakit gula yang juga diciptakan oleh cendekiawan dalam tubuh-mu. Endonesa...oh...Endonesa. Bahkan ampas tahu bisa membuat gaduh orang-orang-mu.

Yogyakarta, 14 Desember 2013

Malam Lebaran

Malam Lebaran, 
Tiada Bulan di Atas Kuburan. 
Illahi menangis, Rembulan sembunyi, Berpayung Daun Jati. 
Kembang Api merona, Petasan menggelegar, Sirene berkumandang. 
Sebuah Perayaan, Terbebasnya para Setan. 
Perjuangan Inti baru dimulai, tanpa mampu terlepas dari jerat kemunafikan. 
Maaf!

Nama

Ku namakan kau Nabil anak-ku
agar kau tahu betapa berharga kecerdasan untuk hidup-mu
maka jadilah kau berguna
tidak hanya untuk diri-mu sendiri
Ku namakan kau Rayyana anak-ku
agar kau tahu bahwa kau terlahir tepat di depan gerbang kebaikan
maka jadilah kau representasi-nya
upayakan diri-mu tetap seperti itu
Ku namakan kau Rumi anak-ku
agar kau tahu betapa sempurna bagi hidup-mu bergumul
dengan seni & cinta
semoga Tuhan selalu menaungi-mu
Ku namakan kau Kardiansyah anak-ku
agar kau tahu latar belakang dan sejarah hidup-mu
maka ketahuilah bahwa aku selalu dibelakang-mu
seberapa pun jauhnya kau akan berlari, anak-ku
aku akan selalu menatap ke depan, ke arah-mu
tanpa tahu apakah kau akan menoleh ke arah-ku

Yogyakarta, 7 Agustus 2014

Sebuah Kutipan

"Pekerjaan yang paling membahagiakan adalah guru (pengajar)!
karena setiap saya berdiri di depan kelas, saya berdialog dengan masa depan!" 
(Dr. Anhar gonggong, 3-10-2014)

Kenangan Kecil Untuk Seorang Guru

Tak ku sangka lambaian itu adalah yang terakhir darimu guru...!
Masih ku ingat keraguan yang ada dalam benak-ku
ketika aku berdiri di depan gerbang rumah-mu
Menoleh kanan kiri, seraya berpikir apakah ini benar rumah-mu
Masih juga ku ingat sambutan hangat yang engkau berikan padaku saat itu
Berondongan pertanyaan, raut wajah yang penuh tanya, dan pertanyaan final "Jadi kapan ini ujiannya?".
Dengan raut wajah yang tak kalah bingung pun aku menjawab "Belum pasti Prof, hehe!".
Sangatlah patut diteladani wahai engkau guru
Langkah kaki yang sudah lambat tak lantas membuat-mu tak datang tepat waktu pada waktu ujian-ku tiba
Berondongan pertanyaan yang begitu padat dan tajam, entah mengapa terasa begitu ringan untuk ku terima dan kemudian ku jawab
Apakah karena tutur kata yang lembut? atau memang engkau sengaja membantu-ku untuk bisa menyelesaikan ujian dengan baik?!
Sangat mengesankan
Suatu kehormatan untuk bisa menuntun-mu kembali ke ruangan
Wahai guru
Masih ku ingat sambutan rekan-rekan sejawat-mu ketika kau datang
Hangatnya sambutan mereka seakan mampu menggambarkan betapa hangatnya pribadimu wahai guru
Suatu penyesalan menghinggapi saat ini oh guru
Mengapa aku tidak tinggal lebih lama untuk mendapat cerpen berbahasa inggris karya-mu yang sedang aku cari
Engkau bersedia membantu mencari jika saja pada saat itu aku mau tinggal lebih lama, sayang takdir berkata lain
Aku pun mohon diri, tanpa cinderamata aku hanya bisa berucap terima kasih sedalam-dalamnya
Tibalah saat yang sangat berkesan, sebuah lambaian tangan dengan tatapan mata di balik kaca mata besar yang seakan penuh keraguan
Aku pun membunyikan klakson dari motor pinjaman yang saat itu ku pakai dan pergi
Tak kusangka hari ini engkau telah tiada wahai guru
Senarai ilmu yang kau bagi hanyalah setitik cahaya dari milyaran matahari dalam diri-mu
Setidaknya aku masih memiliki tanda tangan-mu di dalam Tesis yang dulu kau pertanyakan isinya
Semoga tenang dan berbahagia di kehidupan-mu setelah ini wahai guru
Terima kasih
Untuk Seorang guru: Alm. Bapak Prof. Dr. Bakdi Soemanto.

Bandarlampung, 11 Oktober 2014

Senjakala

Senjakala di kota tua
Terduduk, bermimpi, dan memandang kehidupan
di sepanjang jalan tua yang hina
Aku melihat berbagai macam manusia
Berwarna kulitnya, pucat pasi wajah-wajahnya
Merah merona sang senjakala
Laksana darah yang dihisap lalu dimuntahkan
Yang indah tak seindah indahnya, yang buruk tak seburuk buruknya
Sang kehidupan tak sehidup hidupnya
Yang berdagang menipu, yang membeli menghardik
Mencari hidup mematikan yang hidup, mencari senang menikam yang senang
Aku hilang
di tengah-tengah peradaban yang riuh, gegap gempita, gemah ripah loh jinawi
Manusia berlalu-lalang satu meter di depan muka
Sepasang kekasih bercumbu di sisi seorang tua yang sedang berdo’a
Di sisi lain-nya, seorang wanita bunting menangis seraya meratapi lukanya
Sekelompok kanak-kanak tertegun, melamun
bola-bola mata berbinar menahan lapar
Tampak gagah sang senjakala
Merahnya memudar menjadi jingga
Terkungkung mendung, terselimuti hampa sang abu-abu
Ribuan tetesan air menyadarkan lamunanku
Aku berlari, meliarkan asa, melindungi diri dari ancaman tak nyaman-nya dunia

Antara Senja dan Prasangka


biarlah senja itu datang
kau dan aku tak kan pernah tahu
sesuatu yang ia sembunyikan di belakang punggungnya
bisa sebilah pisau
mungkin juga segelas air mineral
kau dan aku tidak akan pernah tahu
apakah ia ingin menorehkan gurat noda merah di wajah
atau hanya ingin menawarkan senarai kesegaran dan kesejukan
di setiap tegukan, demi tegukan
akan tetapi sayang
bagaimana mungkin kita bisa begitu egois
begitu sombong berprasangka
sedangkan bisa saja ia datang dengan sebilah pisau
untuk mengadunya dengan kata-kata kita
mana lebih tajam, mana lebih mematikan
atau bahkan ia bisa juga datang
dengan segelas air dalam genggaman
namun pada akhirnya ia siramkan ke wajah
kau dan aku tak akan pernah tahu
karena senja itu datang dengan begitu gilang gemilang
sisa-sisa cahaya matahari di siang bolong tadi
masih mampu menebarkan kilaunya
membuat kau dan aku tak kuasa menatap lancang
bertolak pinggang untuk menantang

Bandarlampung, 17 November 2014

Kau, Aku dan Ironi

Lihatlah! fajar itu pun tiba
sepanjang malam
kau dan aku telah bergumul dengan hujan badai
tak ingin ku ingat lagi saat-saat itu
saat-saat dentuman petir menggelegar
kilat berkelap-kelip, berpesta-pora menebar ancaman
menuai kecemasan
kau dan aku pun bertanya-tanya
apakah hari esok akan tiba?
apakah kita akan hidup sia-sia?
hanya karena suatu ketika
kita berdua pernah terjebak dalam impian
sebuah wacana utopia kehidupan
saat ini semua pertanyaan akan terjawab sayang
sinar fajar itu telah tampak
kegelapan perlahan menjingga
kecemasan perlahan-lahan pun sirna
kau dan aku berdiri di tepi pantai
memandang jauh ke depan
menembus cakrawala
namun perlahan dari kejauhan
terlihat ombak bergulung semakin besar
semakin tinggi, semakin mencekam
bergerak semakin kencang
seakan bersiap untuk menerkam
rona langit pun kembali menghitam

kau dan aku pun terpana
tak kuasa berkata-kata
tanpa bisa diduga-duga
kau dan aku pun melelehkan air mata....

Sebuah Penolakan

Bukan!
kita bukanlah apa yang kita bayangkan saat ini
jika kau dan aku mendefinisikan kita seperti itu
aku akan sangat cemas
karena aku bisa saja salah dalam menerjemahkan maksud-mu
aku bisa saja salah dalam memahami siapa diri-ku
Begitu juga kau!
jika aku mendefinisikan kau seperti ini
aku akan sangat sangsi
karena kau bisa saja salah dalam menerjemahkan maksud-ku
kau bisa saja salah dalam memahami siapa diri-mu
Kau dan aku tidak akan pernah tahu
karena kau dan aku adalah jutaan mata rantai
yang tidak pernah diketahui ujungnya
janganlah kita coba berpikir sayang
karena kita akan hilang
tenggelam dalam apa yang bukan diri kita sendiri

Bandarlampung, 28 November 2014